Rumah knis

Prosa : Rest Area

Kita telah melewati banyak jalan dan tempat. Bersama denganmu Tuan, aku rasa semua perjalanan menjadi menyenangkan. Bahkan sekedar melihat lampu yang berbaris rapih di pinggir jalan raya saja, kan terasa lebih bermakna. Seperti pada persimpangan yang membuat kita berhenti tuk saling bersandar. Mereka sebut itu Rest Area, namun bagiku itu lebih dari sekedar Rest Area. 

Ada banyak lagu yang selalu kau dengar dalam setiap perjalanan. Pun aku, juga begitu. Namun dalam perjalanan dengan kata "kita" di tengahnya, terasa lebih nyaring dari berbagai musik yang kita sukai. Nada itu, tak akan kau temui dari lagu di gawaimu. Perpaduan suara acak bahkan mungkin bisa jadi lebih dari sekedar sumbang sangat menenangkan. Semua berasal dari hati kita yang berbahagia dan kita gambarkan melalui tawa. Matamu menghilang tatkala tertawa di sampingku, di belakang kemudi yang setia kau genggam hingga sukses membuatku iri pada benda mati tersebut. Meski benar, kacamata berbingkai hitam bisa jadi yang menyembunyikan bola mata favoritku, tapi rona pipi khasmu tak bisa menyangkal semua. Kau, saat itu tengah sangat berbahagia, Tuan. Lalu, tak lama buatku menghangat. Lebih dari sekedar bahagia. Aku merasa beruntung.

Beberapa meter sebelum pintu Rest Area kau sering kali memulai dengan pertanyaan dan tentunya kau sudah tahu jawaban singkat dariku, si tidak punya keinginan untuk memilih. Berakhir dengan hembusan nafas dan sedikit gerutukkanmu yang mulai bosan karena harus berpikir sendiri tentang asupan apa yang bisa kita nikmati bersama. Di saat yang sama pula, malaikatku mungkin mencatatan amalan buruk atau baik atau entahlah akupun tak tahu harus memasukkannya pada bagian mana. Pertanyaan yang kau ajukan dan gerutukkanmu itu juga menjadi bagian membahagiakan bagiku. Aku melihat lelaki yang senantiasa memikirkan duniaku bahkan hanya sekedar jam makan bahkan sempurna dengan kudapannya. Lelaki ini adalah lelaki yang tak bercela pada bagian memperhatikan wanita di sampingnya. Dia, begitu, sangat, terlalu dan ahh sudahlah dengan kalimat selanjutnya. Aku terlalu menikmati hujanan perhatian yang tak bisa ku gambarkan.

*Bammm*, pintu kursi tengah terakhir sukses tertutup. Waktu makan di dalam mobil menjadi opsi terbaik tatkala tengah berada di Rest Area. Hal ini karena kami terlalu lelah untuk sekedar menunggu antrean bangku kosong. Di dalam sana, manusia tak berbalas sabar. Mereka memiliki mata elang yang dapat menemukan dan saling mencapit kursi serta meja kosong. Bisa jadi, ini jadi perwujudan kami yang begitu paham dengan managemen emosi kami yang setipis tisu toilet dan sangat tidak tepat untuk bersaing sehat dengan pengunjung lain. Adapun baris kursi pertama kami tidak pilih adalah karena aku si wanita yang sangat suka makan dengan gaya duduk bersila ini akan sangat kesulitan jika berada di baris depan. Entah mengapa, mengangkat kaki bak lelaki di warteg adalah cara menikmati makanan dengan sangat tepat. Lelaki di sampingku hanya menggelengkan kepala dan selanjutnya mulai berkhutbah agar aku bisa berpikir seribu kali bila tidak menghabiskan makanku yang dimana menurut Tuan, porsi kucing.

Lagi, pemandangan Tuan yang tengah lahap sembari bercerita tentang setengah hari yang baru saja terminum habis adalah hal yang ku sukai. Suara, mimik wajah serta aroma tubuh yang sialnya entah mengapa tercium lebih dari sekedar aroma tubuh sebelumnya. Barangkali karena aku yang begitu fokus padanya membuatku acuhkan lain. Gravitasi duniaku berpusat padanya. Gaya tarik magnet yang bersebrangan membuatku sukar tuk tolak. Sembariku mengikuti dunianya yang diputar ulang, aku berbisik pada Tuhan tuk lambatkan waktu sejenak. Tak apa jika lima belas menit saja, atau bahkan tiga puluh atau satu jam atau ... berakhir di momen ini dan tak berputar lagi. Tuhan, biarkan diri ini mabuk lebih dari takaran takdirku sebelumnya.

Tuan bercerita padaku tentang apa yang dia sukai dan tidak aku sukai. Matanya berbinar lebih terang dari sinar lampu yang mampu berikan cahaya pada jalan panjang di depan kami. Meskipun begitu, mataku masih mampu tuk menikmati kilaunya sebab pipi tomatnya mampu sedikit menutupi ruang tembak bola mata. Juga garis senyum sepaket dengan bibir tipisnya yang tertarik dan hasilkan gigi yang tak putih akibat kopi dan hisapan batang berdaun dapat ku tengok. Untungnya tak ada selipan cabai atau bahkan hal lainnya di sana. Namun jikapun ada, sepertinya dapat ku maafkan dan tetap ku lanjutkan menjilati hal yang manis di hadapanku - sampai - habis tak tersisa. Dari ribuan kata yang tersampaikan, aku hanya bisa fokus pada kalimat terakhirnya saja yaitu, "Kau harus menyukainya, sebab itu menyenangkan." Dengan penuh berapi-api.

Aku balas dengan senyum, mata tetap tak berhasil keluar dari pakuannya sembari berkata, "Ya, aku suka padamu".

Alisnya yang cukup tebal dan lebar itu mulai saling berdekatan. Sepertinya Tuan tidak puas dengan jawabanku tapi tak kunjung mengeluh, membuatku berpikir untuk segera mengganti jawaban dengan, "Ya, aku lebih dari sekedar suka, aku-mencintai-mu".

Seterusnya, dia masih tidak menikmati jawabanku dan berakhir menggerutu. Padahal itulah jawaban yang menurutku paling tepat. Apa salahnya jika aku menyukai bahkan lebih, yaitu mencintai? Bukankah dia menyuruhku untuk menyukai? Hah, sudah ku jabarkan bahwa Tuan tak perlu lagi menungguku suka, aku sudah - sangat - mencintainya. Tapi sesungguhnya mendengar cuitan tak beratutan nadanya itu semakin menambah kata sangat pada kalimat sudah - sangat - mencintainya. Aku rasa, selain bintang yang ada di langit yang kini tak kunjung keluar dari persembunyiannya, aku juga menyukai bintang di hadapanku. Tidak. Aku lebih dari suka namun aku sudah - sangat - sangat - mencintai Tuan. Hanya pada Tuan (ini) yang terlalu bodoh tuk sekedar paham isi pikiran seorang wanita namun berulang sukses tuk meramu rasa hingga sang wanita (ini) menenggak tak bersisa, sekali nafas dan bersedia tadahkan gelas kosongnya (kembali secara tak terputus) pada sang Tuan.

Pada Rest Area yang tak kunjung lapang, bisakah kau bersaksi untukku? Jikalau suatu saat ada yang bertanya mengenai apa yang sudah terjadi, maka kau cukup putarkan kalimat ku, 'Aku sudah sangat-sangat mencintai Tuan'. Bahkan hingga para pencercah itu menyuruhmu berhenti, lakukanlah tanpa titik. Sebagaimana aku yang tak berniat hentikan jariku tuk mengulur waktu yang sekiranya memintaku berhenti di lembar yang sudah jauh tertinggal. Barangkali, para petuah merasa khawatir dengan jariku yang memerah, berbentuk tak lazim juga sebab kantung mataku yang berkantung, gelap tanpa bintang ataupun bulan di sana. Atas, pun bawah. Ada banyak hujan juga terangnya malam yang bergulir dengan tak sopannya. Buat ku dan Tuan bertanya, "Jam berapa ini?" Dengan jari yang bertaut. Entah berapa banyak lalu lalang mobil, aku serta Tuan tak hitung sebab menghitung bukanlah keahlianku. Tak yakin juga dengan Tuan. Yang ku tahu, aku ahli dalam mengatakan 'Aku sudah sangat-sangat mencintai Tuan'. Lalu mengenai keahlian Tuan? Aku tak tahu karena tak pandai (lagi) membaca.

Komentar