Rumah knis

Cerpen : Bintang Jatuh

 Di suatu Desa terpencil, hiduplah anak perempuan bersama dengan Ibunya. Mereka hanya hidup berdua di desa itu. Sebelumnya Desa tersebut adalah Desa dengan banyak penduduk yang hidup sederhana dan bahagia. Namun, di tengah musim hujan yang sangat panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, banyak para penduduk yang memutuskan untuk bertransmigrasi ke daerah lain. Banyak orang beranggapan bahwa musim hujan kali ini tidak berujung dan menyebabkan malapetaka untuk warga Desa seperti, hewan ternak banyak yang mati, tumbuhan gagal panen, serta munculnya wabah-wabah penyakit yang hingga menyebabkan kematian.

 Sang Ibu memilih tetap tinggal dikarenakan ketakutannya jika warga Desa akan bertemu dengan sang Putri. Bukan tanpa sebab ketakutan tersebut, beberapa kali sang Putri bertemu dengan warga Desa dan mendapatkan makian dan respon kurang baik lainnya karena wajah sang Putri yang dianggap buruk rupa dan menyeramkan. Bagi sang Ibu, putrinya sama cantiknya dengan anak perempuan pada umumnya bahkan memiliki keunikan yang menjadi nilai lebih. Pemikiran tersebutpun sering kali Ia sampaikan pada sang Putri setiap kali sang Putri menangis karena hal tersebut.

 Ada waktu dimana sebelum musim hujan kali ini terjadi, sang Ibu yang memiliki lahan untuk dirinya berkebun, menjual semua hasil kebunnya hanya untuk membeli gaun yang sangat cantik dan saat itu tengah ramai dibicarakan dan digunakan oleh para gadis cantik di desa. Tak sedikit tabungannyapun Ia gunakan untuk menutupi kekurangan karena harga gaun yang terlalu tinggi jika dibandingkan dengan hasil kebun yang tidak seberapa. Dengan suka cita sang Ibu pulang ke rumah dan berkata pada sang Putri, 

 "Ayo pakailah gaun ini. Gaun ini adalah gaun tercantik di desa ini. Kamu pasti akan menjadi seperti putri dikerajaan."

 Sang Putri menuruti dan menggunakan gaun yang dirasanya memanglah sangat cantik. Rasanya sangat menyenangkan Ia memandangi gaun tersebut sebelum Ia gunakan. Setelah Ia mengganti pakaian lusuhnya dengan gaun tersebut, Ia keluar dari kamar dan memperlihatkannya pada sang Ibu. Sang Ibu terkagum hingga meneteskan air mata melihat sang Putri menggunakan gaun yang amat cantik itu. Terlebih saat ini sang Putri tengah tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak Ia temukan di wajah putrinya.

 Sang Ibu berinisiatif untuk mengajak sang Putri jalan-jalan ketepi sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Tak lupa juga sang Ibu membawa beberapa kudapan dan minuman untuk mereka nikmati di sana. Sesampainya di sana sang Ibu menggelar kain dan mengeluarkan makanan yang Ia bawa.

 "Makanlah kue ini. Para bangsawan biasa memakan kue cantik seperti ini" kata sang Ibu sembari menberikan satu potong kue yang Ia dapatkan dari toko roti salah satu kenalannya. 

 Sang Putri menerima dan memakan kue tersebut dengan begitu senangnya. Selanjutnya sang Ibu memakan potongan rebung yang Ia temukan di hutan tak jauh dari kebunnya. Sembari makan mereka juga asik bercerita tentang kehidupan Putri diberbagai kerajaan yang selalu dibaca sang Putri selama ini. Mereka membayangkan jika mereka hidup di sebuah kastil yang megah dan memiliki banyak makanan di lemari mereka. Terlebih meja makan yang akan selalu terlihat penuh meskipun yang hidup dalam kastil tidak banyak orang. 

 Sayangnya kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Di perjalanan pulang, mereka bertemu dengan beberapa warga desa dan mencemooh penampilan sang Putri. Salah satu dari mereka beranggapan bahwa gaun tersebut tidak pantas digunakan oleh sang buruk rupa dan dapat mencoreng nama pembuat-pembuat baju di Desa. Mendengar tersebut membuat sang Putri menangis dan lari menuju rumah, lalu mengurung diri semalaman di kamar. Sang Ibu juga ikut menangis merasakan kesakitan sang Putri di balik pintu.

 Beberapa waktu setelahnya sang Ibu berhasil mendapatkan ramuan minuman dari Kota yang berjarak sangat jauh dari Desa. Sang Ibu mendatangi toko tersebut karena mendengar bahwa ramuan tersebut merupakan rahasia dibalik kecantikkan para bangsawan. Rumor tersebut Ia dengar saat akan menjual hasil kebun pada pengepul di Desa. Mendengar tersebut sang Ibu meminjam Uang kepada pengepul dengan jaminan hasil kebun dipanen selanjutnya akan Ia berikan seluruhnya. Pengepul merasa tertarik, sebab Ia mendengar dari para petuah di Desanya bahwa musim panen berikutnya merupakan musim panen terbaik dan seluruh hasil panen akan menjadi hasil panen terbesar selama tahun ini. Terlebih Ia hanya perlu membayar harga musim berikutnya saat ini degan harga yang sedang turun.

 Tengah malam telah tiba dan Ibu baru saja sampai di rumah dengan wajah lusuh dan lesu dan kaki yang bengkak akibat berjalan seharian untuk mencapai toko ramuan di Kota. Sang Putri melihat tersebut membantu sang Ibu untuk duduk dan memberikan segelas air. Akibat rasa tenggorokan yang sudah terbakar karena Ia tak minum selama perjalanan membuat sang Ibu menenggak habis dalam satu tarikan nafas dan segera diisi kembali oleh sang putri hingga di gelas ke tiga. 

 Sang Ibu menunjukkan harta karun yang baru saja Ia dapatkan dari Kota sembari bercerita tentang rumor yang Ia dapatkan di Desa sebelumnya mengenai khasiat dari ramuan tersebut. Sang Putri terkejut mengetahui bahwa Ibunya menghilang seharian bukan karena sibuk di kebun, namun pergi ke kota hanya untuk ramuan ini. Sang Putri hanya bisa memeluk sembari menangis dipundak sang Ibu. 

 Hari-hari berikutnya sang Putri mengikuti saran sang Ibu untuk rutin meminum ramuan tersebut. Ramuan itu berisikan 21 bungkus dengan aroma yang cukup menyengat setelah diseduh dengan air panas. Terlebih rasa pahit saat meminum ramuan tersebut membuat sang Putri sebenarnya membenci ramuan tersebut di dalam hatinya. Namun karena sang Ibu telah begitu berjuang untuk mendapatkan ini, tak sampai hati jika Ia harus mengeluh dan memilih tidak meminumnya. Hingga di hari terkahir atau hari ke dua puluh satupun tiba. Sang Putri berencana untuk mengantar minum ke kebun milik sang Ibu. Sang Putri bercerita dengan begitu senangnya bahwa Ia sudah menghabiskan ramuan tersebut kepada sang Ibu. Sang Ibu senang dan memeluknya.

 Dari arah kebun milik warga lain yang berada di samping kebun sang Ibu, munculah tiga orang warga desa yang mendengar dan kembali berkomentar negatif tentang tidak adanya perubahan. Sang Ibu hanya bisa menutupi kuping sang Putri dengan kedua tangannya sembari membawanya pergi. Dalam perjalanan, keduanya sama-sama menangis tanpa bersuara. Sepasang Ibu dan anak tersebut saling tidak ingin menampakkan rasa sakit hati yang timbul dari ucapan warga. Rasa sakit yang selama ini menjadi beban hidup terberat mereka.

 Langkah kaki 2 perempuan itu berhenti saat tiba disebuah bukit dengan hamparan rumput yang sangat luas. Mereka memutuskan untuk duduk setelah menghilangkan jejak-jejak kesedihan selama perjalanan tadi. Tak ada satupun suara yang hadir. Keduanya sama-sama menikmati langit yang telah berganti menjadi lebih gelap dengan seperangkat perhiasan yang berkilau dan berpencar. Sapuan helaian rambut akibat langit semakin melengkapi suasana malam kali ini. 

 "Ibu, mengapa aku berbeda? Mengapa aku terlahir dengan wajah yang buruk rupa? Ibu dan ayah memiliki paras yang begitu rupawan. Mengapa aku tidak?" tanya dari sang Putri, memecahkan keheningan.

 Sang Ibu hanya terdiam. Satu sisi, dia cukup kaget tentang pemikiran sang Putri yang sebelumnya tidak pernah diungkapkan meskipun kejadian seperti hari ini bukanlah yang pertama. Sang Putri tidak pernah bertanya mengenai apapun, hanya mematuhi, menunjukkan rasa senang dan sekalipun bersedih, wajah itu akan segera Ia tutupi atau segera pergi menghilang sejenak. Pikir sang Ibu, selama ini ternyata sang Putri selain terbebani dengan perkataan para warga juga memiliki keluhan terhadap wajahnya melalui pertanyaan ini padanya. Ia sangat mengingat pada saat Ia harus berjuang untuk melahirkan sang Putri memang benar tidaklah mudah dan bahkan sangat sulit. Di saat itu sang Suami telah tiada dan tidak meninggalkan harta selain rumah dan kebun. Sehingga Ia tidak punya biaya untuk melahirkan dan tidak ada yang mau membantunya tanpa adanya uang. Akhirnya Ia memutuskan untuk mencoba melahirkan sendiri di rumah dengan persiapan sederhana. Tangisan pertama sang Putri bagaikan suara terompet diparade Kota yang sangat ramai. Begitu membahagiakan mendengarnya. Hingga akhirnya Ia mencoba mengambil sang Putri untuk dipeluk. Bayi yang begitu kencang menangis akhirnya terdiam. Setelah tidak terdengar tangisan, sang Ibu mulai memperhatikan detail dari anak yang telah dikandungnya selama ini. Sejujurnya sang Ibu terkejut melihat wajah sang Putri, namun dibandingkan dengan rasa syukur atas lahirnya sang buah hati, itu tidak sebanding.

 Hingga tibalah hari ini, sang Putri mempertanyakan apa yang Ia juga tidak pahami. Sang Ibu bingung harus menanggapi seperti apa. Apakah dengan tanpa menjawab namun memeluknya? Atau justru menjawab tidak tahu? Yang manakah yang perlu Ia pilih agar hati sang Putri dapat tenang. Selain pertanyaan tersebut, di bagian hati lainnya terdapat penyesalan yang Ia bebankan pada dirinya atas keluhan sang Putri. Beban yang harus dirasakan oleh sang Putri adalah kesalahannya sebagai Ibu. Tapi jika ditelaah lebih jauh lagi, sang Ibu juga tidak memahami pada bagian apa yang tidak sesuai. Selama ini, hal termudah untuk menyalahkan dirinya hanyalah karena Ia tidak bisa bekerja lebih giat lagi untuk kehidupan sang Putri lebih baik bahkan sedari kandungan. Barangkali jika kondisi ekonomi lebih baik, sang Ibu dapat memakan makanan yang lebih sehat dan dibutuhkan untuk perkembangan janinnya agar lebih sempurna. Selama ini hanya hasil kebun saja yang menghidupi dirinya seorang. Jika memiliki uang, mungkin melahirkan di klinik dengan Thabib terbaik di Desa adalah solusi terbaik agar dapat memastikan bayi lahir dengan lebih sempurna. Semua salahnya. Itulah yang dipikirannya.

 "Maafkan Ibu." Hanya dua kata itu yang akhirnya keluar bersama dengan derasnya air mata. Begitu runyam isi kepala sang Ibu dan tak mampu lagi menguraikan pintalan benang.

 "Maafkan Ibu"

 "Maafkan Ibu"

 Melihat sang Ibu menangis dengan penuh penekanan di setiap getar tubuhnya membuat sang Putri berhenti menangis. Sang Ibu tak henti-hentinya mengatakan permohonan maaf tersebut padanya. Setiap nada tangisnya seakan listrik yang menghantarkan rasa sakit pada diri sang Putri. Sang Putri perlahan memeluk sang Ibu dan ikut menangis bersamanya. Kedua perempuan yang menangis dengan begitu lepasnya bahkan tidaklah sesuai dengan kondisi sekitar yang begitu tenang, damai dan indah terlebih dengan langit di atas sana. Namun inilah kali pertama mereka saling jujur atas apa yang ada di dalam diri masing-masing tanpa kata-kata penjelas sekalipun. 

 Cukup lama dua wanita tersebut larut dalam kejujuran sanubari terdalam mereka. Hingga saat rasa sudah lebih tenang dan tangis sudah kembali surut, sang Ibu berkata "Putriku, jika ada Bintang jatuh, kejarlah hingga kamu dapatkannya. Dengan bintang tersebut kamu akan hidup bahagia tanpa rasa sakit seperti ini lagi."

 Beberapa waktu telah berlalu, sang Putri datang ke tempat itu kembali. Kali ini Ia datang sendirian setelah memastikan sang Ibu telah tertidur pulas di atas ranjangnya. Sang Putri memandang langit kembali dan kali ini pikirannya melayang entah kemana. Ia membiarkan semua untuk menghilangkan berbagai beban yang ada di dalam pikirannya. Terlebih rasa bersalah setelah bertanya mengenai keresahannya selama ini kepada Ibunya. Namun, ditengah kesyahduan ini, tiba-tiba terdapat kilauan Bintang jatuh dengan begitu cepat. Sang Putri mengingat perkataan sang Ibu dan langsung segera mengejarnya. Ia berlari sekuat tenaga tanpa tahu apakah arah yang Ia ambil benar atau tidak. Hingga sampai Ia disebuah hamparan tanah luas dengan kepulan asap di ujungnya. Sang Putri berlari mendekati sumber asap tersebut dan terkejut atas apa yang Ia lihat. Sebuah Bintang di tengah cekungan yang luas namun tidak begitu dalam. Dengan sedikit ragu, sang Putri mencoba turun dan mengambil Bintang tersebut.

 "Hallo makhluk Bumi, karena kamu telah menemukan Bintang ini, silahkan buat satu permohonan" Suara dari Bintang yang membuat sang Putri kembali terkejut dan hampir-hampir Ia melempar Bintang.

 "Aku tidak punya harapan. Aku ... tidak tahu."

 Suara tawa terdengar dengan keras. "Tidak mungkin makhluk Bumi tidak memiliki harapan. Katakanlah apapun itu." 

 Sang Putri diam sejenak. Bintang benar, pasti ada yang selama ini Ia harapkan, tapi apakah perlu Ia mengatakan bahwa Ia ingin menjadi gadis yang cantik? Apakah itu saja cukup? Sayangnya hanya satu permintaan. Jika tidak dipergunakan dengan baik maka akan sangat disayangkan. Lalu Ia teringat dengan berbagai buku dongeng yang Ia miliki dimana setiap cerita sang Putri akan selalu memiliki pangeran. Hal yang akan selalu ditampilkan pada lembar terakhir dan bertuliskan,'lalu mereka hidup bahagia' 

 "Aku ingin seorang pangeran yang selalu memujiku bahwa aku adalah wanita tercantik yang Ia miliki"

 "Hem ... pangeran. Menarik, baiklah akan ku kabulkan. Tapi aku akan mengatakan suatu hal, jika kamu menginginkan sesuatu, kamu harus bersiap kehilangan hal yang paling berharga dan termahal yang kamu miliki." 

 Mendengar hal tersebut sang Putri berpikir, apakah yang paling mahal yang Ia miliki. Rumah? Tidak. Rumah kayu itu tidak memiliki harga karena memang rumah itu hanya rumah kayu biasa yang berada jauh dari pusat Desa, terlebih kondisi Desa saat ini yang telah tak berpenduduk. Begitupula dengan kebunnya. Namun ... gaun itu, sepertinya hanya itu barang berharga dan termahal yang dimilikinya. "Baiklah" Jawabnya.

 Sang Putri menaruh Bintang tersebut ke atas tanah sesuai intruksi dari Bintang setelah Ia telah menyanggupi persyaratan tersebut. Bintang mulai bercahaya lebih terang dan semakin terang dibandingkan sebelumnya hingga kepulan kabut disekitarnya semakin tebal. 

 Sang Putri menyipitkan matanya setelah terpejam karena tidak tahan akan silau cahaya Bintang. Samar terlihat wujud manusia diselimuti kabut yang terlihat mulai menipis. Ditatapinya kabut tersebut dan membuat sang Putri terkejur akan apa yang Ia lihat. Sosok laki-laki tampan dengan pakaian bak Kesatria di buku-buku dongeng miliknya. Sepertinya Bintang tadi sudah berubah menjadi Pangeran yang Ia harapkan. Sangat sempurna. Terlebih Pangeran tampak ramah. Setelah keajaiban itu, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah sang Putri. Sepanjang perjalanan Pangeran tak berhenti berbicara dan sesekali memuji dan memanggilnya 'cantik'. Membuat sang Putri merasakan sangat bahagia.

 Sesampainya di rumah, sang Putri berteriak dengan suka cita memanggil sang Ibu. Namun pada saat Ia tiba di kamar yang sebelumnya Ia tiduri bersama, sang Ibu tidak terlihat di sana. Bahkan setiap ruang di rumah inipun tidak ada. Matahari memang sudah mulai terbit, namun rasanya masih terlalu pagi untuk berkebun. Namun, jika di rumah tidak ada dan bukan pergi ke kebun, kemanakah Ibu?

 Sang Pangeran menepuk pundak sang Putri dan berusaha untuk menenangkan kekhawatirannya. Seperti terhipnotis dengan segala perlakuan manisnya, sang Putri berakhir melupakan masalah tersebut dan kembali menikmati keajaiban yang baru saja Ia dapatkan. 

 Waktu melangkah maju namun tidak mengubah manisnya pasangan ini. Sang Pangeran memutuskan untuk tinggal bersama dengan sang Putri dan mereka menjadi semakin dekat dan bahkan saling terikat. Mereka melakukan seluruh hal bersama. Tidak ada rasa sedih ataupun mimpi buruk kembali yang hadir di kehidupan sang Putri. Lelaki dihadapannya ini begitu handal dalam membuatnya bahagia terlebih dia tahu bahwa lelaki itu semakin memuja kecantikkannya. Sebuah pengharapan yang terwujud dengan begitu sempurna dimata sang Putri.

 Sang Pangeran mengajak sang Putri untuk pergi ke Kota untuk menghadiri parade tahunan. Parade diselenggarakan dengan sangat meriah dan ramai. Meskipun mereka telah menempuh perjalanan yang sangat jauh, namun melihat keramaian tersebut membuat rasa lelahpun hilang. Tema parade kali ini adalah parade topeng. Seluruh warga datang dengan topeng kebanggaannya yang beraneka ragam termasuk sang Putri dan Pangeran. Mereka berdua terlarut akan kebagiaan di sana. Menari, bernyanyi dan mencicipi berbagai kudapan gratis yang disediakan oleh sang Raja di Kota itu. 

 Ditengah keseruan parade tersebut, Pangeran meminta izin untuk pergi mencari minum untuk mereka berdua. Berbagai kedai minuman gratis telah habis tak tersisa. Pangeran melanjutkan pencarian hingga menemukan sebuah kedai yang masih menyediakan minuman namun pada saat hendak mengambil pesanannya, seorang pelayan menagih uang karena minuman itu tidak termasuk yang disediakan Raja. Begitupula dengan beberapa orang lainnya yang tidak tahu namun minuman yang telah dipesan sudah habis tak tersisa sehingga munculah rasa panik. Pangeran mengatakan bahwa Ia tidak memiliki uang sedikitpun. Bahkan bisa dikatakan Ia memang tidak pernah memiliki uang sejak Ia dikirimkan ke Bumi. Selama ini Ia hanya memakan hasil kebun dan hutan yang Ia dapatkan bersama sang Putri. Warga yang mulai merasa terancam karena tidak mampu bayarpun mulai menangis dan memohon maaf. Tiba-tiba datanglah seorang gadis dengan kantung koinnya datang dan menyerahkan kepada pelayan tersebut. Satu per satu dari mereka yang sudah ketakutan mulai mendatangi gadis tersebut dan berterima kasih lalu pergi. Tersisa Pangera di depan meja kasir yang hanya bisa menyaksikan. 

 "Seluruhnya, termasuk dengan minuman pria ini" ucap sang gadis tersebut.

 "Tidak perlu. Aku bisa mengambil air di sumur atau sungai sekitar sini." Jawab Pangeran

 "Ambillah. Sumur dan sungai di sini sangatlah jauh. Kamu pendatang dan persediaan minummu habis bukan? Tanpa air, kamu tidak akan bisa pulang kembali ke tempat asalmu."

"Mengapa kamu membantuku?"

 Sang gadis tersenyum,"Rasanya senang melihat kalian minum setelah kehausan menikmati parade ini. Sayangnya aku tidak punya cukup uang untuk membagikan secara masal. Aku hanya bisa membantu beberapa saja."

 Jawaban sang gadis tersebut membuat membuat takjub Pangeran. Bisa dikatakan, baik Desa maupun Kota saat ini memiliki kondisi ekonomi yang sedang sulit. Bahkan selama Ia hidup di sini, Ia merasa tidak pernah dibantu oleh siapapun terkecuali sang Putri. Semua menutup pintu saat dimintai bantuan, tapi gadis di hadapannya ini berbeda. Tanpa terasa membuat hatinya menghangat. Sang gadis dan Pangeran memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kastil yang cukup jauh dari parade sambil berbincang-bincang. Selain berhati baik, sang gadis merupakan orang yang pintar dan menyenangkan. Perasaan menikmati suasana yang sebelumnya Ia tidak pernah rasakan dengan sang Putri. Bahkan, dalam pikirannya sudah tidak ada sang Putri di sana. 

 Langit kini mulai gelap namun Pangeran tak kunjung kembali. Sang Putri menunggu disebuah gang tak jauh dari pusat Parade. Sejak tadi Ia kehausan dan menunggu Pangerannya yang tengah mencari minum. Persediaan minum yang Ia bawa telah habis tak tersisa oleh Pangeran se panjang perjalanan. Pangeran berkata bahwa Ia tidak terbiasa berjalan sejauh ini dan membuatnya tidak kuat untuk menahan haus. Terlebih harus sambil berbicara dengan sang Putri. Sang Putri yang begitu menyukai Pangeran memberikan semuanya yang Ia miliki termasuk hingga alas kaki. Saat ini hanya pangeran yang menggunakan sepatu sedangkan Ia hanya menggunakan kaus kaki saja. Hal ini karena sang Putri tidak memiliki cukup uang untuk membelikannya sepatu baru untuknya. Sepatu milik Pangeran sebelumnya telah rusak saat mencari makanan di hutan. Tersisalah milik sang Putri dan setelah itu diberikannya ke pada Pangeran.

 Parade sudah usai dan tak ada kemunculan Pangeran dari berbagai arah. Sang Putri mulai menangis dan ketakutan karena malam semakin gelap. Ia sudah tidak memiliki barang apapun untuk menemaninya. Semuanya sudah Ia berikan kepada Pangeran. Terlebih saat yang ditakutkan tiba. Hujan begitu deras mulai mengairi Kota. Sang Putri memutuskan untuk kembali ke rumahnya meskipun Ia tahu perjalanan sangat jauh dan dengan kondisi hujan namun bertahan di Kota juga bukanlah hal yang baik karena Ia tahu tidak akan menerimanya. Sepanjang perjalanan sang Putri menangis dan tak jarang terjatuh karena kesulitan melihat dan jalan yang licin. Membuat kakinya terluka dan bahkan pakaiannya juga beberapa bagian menjadi rusak. 

 Matahari mulai bersembunyi di ufuknya. Sang Putri baru mencapai bagian terluar Desa namun setidaknya Ia bisa bernafas lega karena sebentar lagi Ia akan sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Ia hanya bisa terjatuh-duduk di lantai. Rasanya sudah sangat lelah dan lemas tak bertenaga. Seharian sudah Ia tidak sedikitpun minum dan makan hanya beberapa kudapan saja sebab lagi-lagi Ia mengutamakan Pangerannya itu. Meskipun gratis, namun saat pengambilan yang cukup panjang, ramai dan diawasi sesuai jatah membuat siapapun tidak bisa memesan lebih. Pangeran terlihat sangat kelaparan sehingga sang Putri memberikan bagian untuknya. Dan saat ini, Ia hanya sendirian di rumah ini. Tersadar bahwa Ia telah ditinggalkan oleh Pangeran yang selama ini Ia sayangi. Barangkali akan terjadi suatu hal kejahatan padanya sata parade kemarin, rasanya itu sangat tidak mungkin. Sebab parade dipenuhi oleh banyak pihak keamanan dan Kota merupakan tempat teraman yang sang Putri ketahui. Sang Putri hanya bisa menangis sepanjang hari.

Sang Putri memutuskan untuk berganti pakaian karena tubuhnya sudah sangat kotor dan basah. Iapun memasuki kamar dan membuka lemari. Saat Ia hendak mengambil salah satu pakaiannya,tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu yang terbungkus oleh kain putih. Segera Ia berganti pakaian setelahnya Ia mengambil benda berlapis kain putih tersebut. Gaun yang sangat cantik ini dari sang Ibu selama ini bersembunyi dibalik kain. Gaun yang selama ini Ia pikir telah menghilang sebagai peganti Bintang untuk mewujudkan Pangeran impiannya. Jika Gaun tidak menghilang, lalu apa yang Bintang tukar dengan Pangeran?

"IBU" satu kata setelah sang Putri berpikir mengenai berbagai kemungkinan. Semua benda tak ada satupun yang hilang. Bahkan kebun juga rumah yang Ia huni. Tapi dari hari pertama kedatangan Pangeran, Ibu tidak terlihat bahkan hingga hari ini. Mengapa bisa Ibu yang menjadi pengganti? Mengapa Ibu yang menghilang? Mengapa Ibu dan bukan gaun? Bukankah Pangeran akan terwujud jika Ia menyetujui untuk menukarkan dengan sesuatu yang bernilai tinggi? Bukankah gaun ini begitu mahal? Kenapa Ibu?

 Sang Putri kembali menangis dan kali ini semakin kencang. Bintang benar, bahwa Ibunya merupakah suatu hal yang paling berharga di dalam hidupnya. Bukan gaun, rumah ataupun kebun. Gaun itu tidak akan ada jika sang Ibu tidak memberikannya. Semua kebahagiaan dan penguatan itu karena Ibu. Lalu bodohnya Ia tukar dengan lelaki yang saat ini entah dimana puncak hidungnya. Lelaki yang meninggalkannya ditengah parade sendirian. Lelaki yang telah terpuaskan, kini lenyap ditelan bumi. Entah dibagian mana. Entah benar ataupun tidak namun penyesalan karena harus menukarkannya dengan sang Ibu adalah puncak dari rasa sakit hidupnya. 





Referensi lainnya untuk cerita pendek yang mungkin akan kamu sukai :

Buku Cerita Bulan Mei

Ada Luka di balik Kata Paham

Keretaku Sampai Tujuan

Sepucuk Surat

Halaman Bidadari

Komentar