Sekedar cerpen sepucuk surat

Ada sebuah lelucon hari ini. Diera ini masih ada seseorang mengirimkan surat setiap 1 tahun sekali. Pak tua yang sudah bekerja selama lima tahun inipun terheran-heran. Aktivitas wanita muda ini setiap tahunnya datang untuk mengirimkan barang yang sama persis. Surat berwarna putih polos yang sederhana tapi tak diberikan alamat tujuan. Wanita tersebut memasukan surat tersebut kedalam kotak surat didepan kantor pos pada pagi hari. Ini tahun ke lima pak tua ini menjadi saksi kegiatan rutin wanita tersebut. Wanita tersebutpun hanya sekedar memasukan surat tersebut lalu pergi. Setiap kali pak tua ingin  menghampirinya, langkah wanita muda itu lebih cepat meninggalkan tempat tersebut.

Surat beramplop putih hanya menjadi tumpukan paket yang tidak perna dikirimkan. Yang benar saja, bagaimana surat tersebut ingin dikirimkan jika hanya tercantum penerimanya tanpa alamat,  kontak yang dapat dihubungi ataupun lainnya? Dan, sepertinya itupun bukan nama dari penerima yang dituju. Hanya tertulis kepada Oktober. Ya walaupun memang ada saja nama yang diberikan sesuai dengan waktu lahir. Tapi apakah benar dia bernama oktober saja? Ya...  Bisa saja,  oktoberita atau oktarita atau oktober....  Lainnya? Wanita muda itu benar benar menambah beban pikiran bagi pak tua.

Di tahun ke enam, pak tua sengaja datang lebih pagi bahkan sudah membersihkan dan juga menyiapkn tempat kerjanya sedini mungkin. Tepat akhir oktober ini, ada pelanggan yang ingin Ia temui. Kali ini, pak tua memilih duduk di dekat pos satpam agar dapat dengan mudah melihat juga mendatangi konsumen setianya tersebut. Duduk sembari menyeruput kopi yang tak sempat Ia minum sebelum berangkat dan sengaja ia masukan kedalam wadah minum milik anaknya. Kopi hangat menemani renggang waktu yang cukup lama.

Wanita muda itu datang. Dengan pakaian sederhana seperti biasa. Membawa tas slempang lalu mengeluarkan sepucuk surat. Pak tua perlahan menghampiri.

"Pagi mbak?" senyum ramah pak tua. Wanita muda membalas senyum yang tak ramah juga manis.

"Mbaknya sepertinya sering ya kesini setiap bulan oktober. Kebetulan saya bekerja disini sudah 6 tahun, jadi saya begitu hafal melihat mbak datang pagi seperti ini. Hehe"

Wanita itu hanya tersenyum malu. Ternyata selama ini ada yang mengetahui kehadirannya.

"Tapi mohon maaf mbak,  surat mbak tidak kami kirimkan sejak surat pertama mbak. Anu...  Saya ndak tahu loh harus kirimkan kemana dan kepada siapa dan dari siapanya pun tak tahu. Jadi saya simpan dalam berkas saja. "

Kembali wanita tersebut tersenyum tapi kali ini senyumnya terlihat lebih lesu juga tatapannya kosong yang disembunyikan dengan tundukan kepala.

" Mohon maaf mbak kalau saya boleh tahu alamatnya yang dituju kemana ya mbak? Biar saya bisa bantu kirimkan saja" pak tua kini menantikan jawaban dari wanita muda tersebut. Bukan hanya senyum atu bahasa tubuh saja. Pak tua sangat berharap mendapatkan lebih dari itu. Beliau menantikan momen ini sudah sangatlah lama. Dan rasanya pak tua ini ingin mendekatkan dirinya,  alih alih sebenarnya wanita muda tersebut menjawab namun tak terdengar oleh telinga tua ini.

"Saya....  Juga tidak tahu"

"Kemana saya harus tujukan. Entah dia berada di langit ditingkat berapa saat ini. Saya hanya sekedar rindu. Maafkan saya,  jika perasaan saya saat ini membebani bapak...  "

Kini pak tua yang berganti membisu. Rindu yang di pendam sendirian selama 6 tahun bahkan sudah pasti lebih berat jika dibandingkan dengan menyimpan surat tak beralamat, sekedar menumpukan di laci tua sudut ruang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk dua puluh satu

Cerpen : Ada luka di balik kata PAHAM

Kutipan Harapan Sederhana Pagi