Cerpen : Ada luka di balik kata PAHAM

 

Sore itu segerombolan remaja tengah membelah kota. Dua diantaranya sedang berbincang dengan raut yang bahagia. Sesekali diselingi suara tertawa. Mereka tengah menceritakan mengenai bagaimana lucunya dunia ini. Bahasan yang umum dibincangkan oleh para karyawan kota kota besar.

"Hai Dimas, kau tahu tidak siang tadi rasanya sungguh berat?" tanya Nina dari posisinya yang kini tepat dibelakang Dimas yang mulai merubah raut wajah tanpa diketahui oleh gadis tersebut. 

"Ada apa?" 

"Siang tadi aku di tegur karena pemasukan perusahaan mulai turun bulan ini. Marketing Credit lagi marketing Credit lagi, sepanjang rapat tadi itu saja yang dibahas. Padahal tim Corporate juga lelang ada disana. Curang bukan? Sepertinya GM kita memang sensi sama timku." keluh Nina

"Bukankah justru bagus? Secara tidak langsung, GM ingin mengoptimalkan divisi Credit karena beliau tahu potensi yang kalian punya sangatlah besar." 

Nina yang mendengar jawaban tersebut mulai membuat ekspresi kesal. Tentu saja kesal, bagaimana tidak? Jawaban tersebut seolah olah membuat Dimas berada di kubu yang saat ini menjadi musuh di kantornya. "Tidak bisa seperti itu! Jika ingin mengoptimalisasikan pemasukan harus semuanya dong! Agar adil! Bukankah itu juga akan membuat income kita semakin besar jika semua divisi meningkatkan kualitasnya?" 

Dimas tidak langsung membalas. Dimas sangat paham dengan wanita yang berada dibalik punggungnya tersebut. Betapa mudah emosinya terpancing. Tapi meskipun demikian, di kantornya, Nina terkenal dengan kesabaran dan tidak suka pertengkaran. Emosi negatif tersebut memang hanya dikeluarkan pada saat mereka bersama, seperti sekarang. Secara tidak langsung, Nina menempatkan Dimas sebagai tempat pembuangan emosinya selama mereka menjalin hubungan yang dekat. 

"Dimas! Jangan diam saja dong! Kamu jangan melamun. Ingat ya, kamu yang bertanggung jawab atas hidup dan matiku. Pokoknya jangan melamun apalagi ngantuk!" teriak Nina sambil memukul punggung pria tersebut. 

"Aku tidak melamun, apalagi mengantuk. Hanya sedang mendengarkan saja" belanya.

"Ya respon dong kalau begitu. Akukan butuh pendapat. Biar hati aku tuh tenang karena udah dapat solusi." 

"Aku tahu, kali inipun kamu sudah punya solusinya. Tapi kamu tetap menceritakan ini kepadaku hanya karena kamu butuh teman berbicara saja." Dimas diam sejenak untuk mengambil nafas, "Sepertinya 2 tahun bersama, aku mulai paham." Jawaban Dimas membuat Nina bungkam. 

Apa yang dikatakan Dimas memang benar. Nina bukanlah gadis bodoh, bahkan untuk masuk ke perusahaan ternama seperti saat ini juga karena dia mengikuti beasiswa full saat di kuliah. Bukan hanya itu, Nina juga berhasil menyingkirkan ratusan mahasiswa beasiswa lainnya untuk bisa diterima bekerja. Memang, jalur beasiswa memiliki keuntungan tersendiri untuk dapat bekerja di bawah payung salah satu perusahaan BUMN terbesar di Indonesia ini. Tapi, menjadi penerima beasiswa saja sudah tidak mudah. Nina ingat betul, dia harus melewati sedikitnya 5 kali tahapan penyeleksian yang sangat ketat. Belum lagi setelah masuk dia harus mempertahankan IPK tingginya. Dan ohh iya, jangan lupakan medali serta piagam kejuaraan diberbagai tempat. Nina memajang piagam tersebut di tembok tepat disamping tempat tidurnya. Alasannya sederhana, agar dia dapat bermimpi menjadi seorang pemenang setiap harinya. Alasan yang sangat sederhana untuk seorang gadis secerdas Nina. 

Dimas juga benar, bahwa mereka sudah menjadi sangat dekat setelah 2 tahun yang lalu. Sebuah kejadian yang di mana membuat dua orang yang menjadi karyawan diperusahaan besar yang sama namun tidak saling mengenal kini justru tidak terlepaskan. 

Tahun pertama Nina bekerja di tempat ini, dia hampir tidak pernah bertemu dengan Dimas. Namun, satu waktu di mana Nina sedang duduk temanggu menunggu angkutan umum yang memang jarang melintasi depan kantornya jika di jam larut seperti tengah malam. Al hasil dia harus sabar menunggu di tangga penyeberangan, tepat disamping jalan raya. 

Seraya menunggu, Nina asik memainkan gawainya. Sesekali dia tertawa melihat hal lucu yang nampak. Hingga beberapa saat setelahnya suara tawa itu mulai berpadu dengan isakan isakan kecil. Semakin lama, suaranya semakin mengiris hati bagi siapapun yang mendengar. Melupakan gawai yang masih terus memainkan vidio lucu yang berulang. Angin seakan berusaha menghibur hati Nina yang kini semakin meringkukkan tubuhnya dengan hembusan yang sangat menenangkan. Bahkan daun daun di ujung pohon yang menjulang tinggi juga ikut berseru. Mengisyaratkan kata tabah dalam setiap geraknya.

"It Will pass" kata seseorang yang membuat tubuh Nina menegang. Tangisnya kini memang mulai mereda, namun aktivitas menenangkan diri dengan menarik juga mengeluarkan nafas secara berkala menjadi terhenti. Bukankah dia sendirian sejak tadi? Lalu suara dari mana itu? Sejujurnya Nina sangat penakut, terutama dengan hal-hal mistis. Terlebih dirinya sendirian dan sialnya, ini tengah malam. Bukankah waktu yang sangat pas untuk para jin dan pasukannya keluar dari neraka untuk mengganggu manusia manusia di dunia? 

"Hai, di atas. Kita hanya beda 5 tangga" lagi-lagi ada suara. Haruskah Nina saat ini juga pergi dan berlari dengan kencang dan melupakan bus yang sejak tadi ia tunggu? 

Tak lama, ada suara gerakan seseorang menuruni tangga "Tenang saja, aku manusia." kata orang tersebut dengan senyum kecil. 

Nina yang sudah membatu sejak tadi mulai tenang tatkala menelusuri tubuh pemilik suara tersebut, mulai dari ujung sepatu hingga terkunci pada mata berwarna coklat. Tampan. Dengan secepat kilat, Nina langsung berusaha untuk mengennyahkan pemikiran spontan tersebut. 

"Hey, ada apa? Siapa namamu? Namaku Dimas" 

Nina memandang uluran tangan yang ada di depannya ini. Prasangka buruk mulai menghampiri. Bagaimana tidak? Di jam yang bahkan sudah tidak normal untuk berada di luar kamar tidurnya saja sudah tidak baik, terlebih ada yang mengajaknya berkenalan? Dan jangan lupakan bahwa saat ini dia berada di kota besar yang sudah terlalu banyak cerita cerita buruk yang Ia dengar dari karyawan karyawan wanita yang suka bergunjing di toilet sambil bercermin. Mengingat salah satu cerita mereka membuat Nina memejamkan mata seraya merapalkan doa. 

Tiba-tiba saja terdengar renyahnya suara tawa. Lengkap sudah. Tengah malam, bisikan dan kini suara tertawa. Yaa Tuhan, bukankah sejak tadi hambamu ini sudah merapalkan puluhan doa agar tidak diganggu oleh salah satu makhlukmu yang tidak pernah patuh itu? Jika bukan itu, lalu apakah dia seorang penculik? Rasanya tubuh yang tadinya sempat kembali normal, perlahan bulu bulu halus disekujur tubuhnya mulai meniang. 

"Ahh sepertinya kita bekerja di tempat yang sama. Tapi kenapa kita tidak saling mengenal? Apalagi jika melihat dari divisimu marketing credit dan aku Analysis Appraisal internal. Setidaknya, rapat quarter utama kita bertemu bukan?" 

Sesungguhnya Nina saat ini masih dalam keadaan takut. Hanya saja pernyataan bahwa dirinya dan lawan bicaranya yang entah apa itu namanya, membuat dirinya mengangkat kepala. Masih terlihat seorang pria tampan yang ada di hadapannya. Sejak tadipun hanya tersenyum. Tak tampak seperti penjahat yang sering digambarkan ditelevisi, kubus peneman sepi di kosan kesayangannya. 

"ekhem, sepertinya tadi aku membuatmu ketakutan ya? Kalau begitu....Mari kita mulai kembali. " Kalimat terjeda dan kembali dilanjutkan oleh pria ini setelah memajukan tangannya kembali ke hadapan wajah sang gadis, " Hai, Aku Dimas divisi Analysis Appraisal internal. Dan kamu?"

"Nina, aku Nina" sejak jabat tangan tersebut, Tuhan mulai menciptakan sebuah alur cerita baru yang hingga kini mereka jalani. Kedekatan yang terjalin dan membuat kedua insan dimabuk berbagai rasa. Dan sejak saat itu pula, hidup Nina memiliki warna baru yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya. Jika ditanya, warna apakah itu? Maka Nina pun tidak bisa menjawabnya hanya dengan satu kata. Begitu kompleks hingga Nina terkurung dalam perasaan tersebut hingga saat ini. Setidaknya, sudah dua tahun Nina menikmati arumjeram yang ditimbulkan oleh pria ini. 

"Dimas" panggil Nina bernada lembut memecahkan keheningan. 

"hem?" balas sang pemilik nama sambil sedikit melirik arah spion kanan yang didapati wajah cantik Nina. 

"Apa lagi yang kau pahami tentang aku?" 

"Hemmm.... Sepertinya banyak." Dimas mengambil nafas sejenak, "Mulai dari kebiasaan MU yang tidak pernah bangun tidur terlambat. Siang bagimu adalah jam 5 subuh karena kamu terbiasa bangun jam setengah 4 atau jam 4 pas. Jika bangun jam 5 maka, kamu akan meminta maaf padaku karena tidak membangunkanku subuh. Bangun tidur kamu akan meminum air putih, madu dan pergi untuk mandi lalu sholat. Itu sih yang aku hafal ya, karena biasanya kamu akan memarahiku dengan kalimat yaampun kamu belum bangun? Aku bahkan sudah minum air putih, madu dan mandi! dengan suara cempreng khasmu, Hahahaa."

"Iiisss, aku kan hanya menyuruhmu mengatakan apa saja yang kamu pahami bukan menertawaiku!" tukas Nina sembari memukul pelan punggung Dimas. "Ayo lanjutkan, apalagi?" 

"Hahaha, okay okay. Selain itu pada saat kamu sampai kantor, kamu akan membuat teh chamomile tanpa gula dan duduk manis sampai jam istirahat datang. Gadis yang jarang sekali bergerumul dengan rekan yang lain untuk sekedar menentukan menu makan siang atau bahkan bergunjing tentang teman satu kantor lainnya. Tapi itu sepertinya bagus, sebab kini kamu menjadi kepala divisi mereka. Kamu fokus dan ulet, sehingga GM kita menunjukmu. 

Selain itu, kamu setelah sore kamu akan Menghubungi ku untuk menanyakan apakah aku akan lembur atau tidak agar bisa mencocokan jadwal pulang. Sudah besar tapi masih saja takut untuk pulang sendiri" Baru saja Dimas mau kembali tertawa, tangan Nina lebih cepat bergerak, "Haduh, sakit tahu! Jangan pukul" keluh Dimas yang dibuat-buat. Padahal nyatanya, pukulan Nina tidak sesakit itu, bahkan jika bisa disamakan, seperti pukulan anak 5 tahun dengan tangan gembulnya. 

"Kamu juga tidak suka kopi juga baunya. Tapi jika sudah disuguhkan kopi, kamu akan memilih untuk tetap meminumnya. Begitu pula dengan makanan yang membuatmu alergi.

Kamu suka semua hal yang berbau dengan seni meskipun kamu tidak bisa bernyanyi sesuai nada yang tepat, tidak bisa melukis ataupun mewarnai, gambarpun... Masih lebih baik anak TK di depan gang rumahku sepertinya, Hahahaa

Ohh iya, jangan lupakan tentang fobiamu yang tidak perlu aku sebutkan karena itu pasti membuatmu tidak nyaman. Lalu.... Kamu juga merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara yang hidup merantau sendirian untuk menghidupi keluargamu, termasuk dengan kedua kakamu. Kamu juga memiliki sahabat yang tidak pernah bertambah jumlahnya. Hanya satu. 

Kamu penyuka aroma parfum Jasmine. Style andalan mu coklat, hitam dan putih. Bahkan sepertinya aku hafal merek skin care dan make upmu deh, Nin." 

Benar. Bisik hati Nina. Lagi dan lagi semuanya itu benar. Dimas bisa mengetahui hingga begitu detail dirinya, lebih dari sahabatnya sendiri. Tapi mengapa itu harus Dimas?

Lamunan Nina berhenti saat dirasa motor berhenti. Ahh.... Sudah sampai ternyata. Nina melihat gedung kosan dihadapannya. Dimas sudah hafal diluar kepala mengenai letak kosannya, bahkan pitu masuk yang kini didepan mereka bukanlah yang utama, sebab jika pintu utama menggunakan gerbang pagar besi yang besar. Perlu sedikit memutar untuk sampai ke pintu besi yang hanya cukup dilalui 1 orang ini. 

"Sudah sampai. Masih betah di motor ehh?" 

"Tidak." Jawab Nina dengan tubuh yang berusaha untuk turun dari kok yang Ia duduk sepanjang perjalanan. 

"Kalau begitu aku lanjut ke tempat Rena ya. Tadi sudah chatt aku sepertinya, karena ada getar di saku. Hahahaa, semoga saja dia tidak marah karena menunggu. Dahh, selamat tidur!" Dimas pergi meninggalkan Nina yang masih temanggu di tempat. 

Dimas melanjutkan perjalanannya untuk menjemput sang pujaan hati. Ya benar, kalian tidak salah membacanya. Dimas dan Rena sudah menjalani hubungan setidaknya 1 tahun. Mereka berkenalan cukup lama, bahkan lebih lama jika dibandingkan perkenalan Dimas dengan Nina. Dimas telah mengagumi Rena sejak jumpa pertama. Rena adalah sosok wanita yang sangat menyenangkan. Wanita perang, baik hati dan disukai semua orang di kantor. Bahkan hingga staff OB maupun satpam juga mengenal dan menyukainya. Tidak heran jika banyak lelaki berusaha untuk mendekati ya, termasuk Dimas. Usaha Dimas dalam pendekatan ini bisa diacungkan jempol. Dimas sabar menunggu Rena. Pertama kali Dimas bertemu dengan Rena bersama dengan kekasihnya. Seorang pimpinan divisi salah satu perusahaan ternama di Indonesia. Namun, beberapa bulan kemudian Rena dikabarkan telah mengakhiri hubungan mereka. 

Nina masih ingat dengan benar, bagaimana Dimas berseru senang saat mengatakan kabar sedih yang dialami oleh wanita pujaannya tersebut. Nina juga ingat saat Dimas meminta bantuannya untuk membantu menyembunyikan hubungannya dengan Rena sebab di kantor mereka ada larangan memiliki hubungan dengan satu rekan kerja. Selain ke dua poin tersebut, hal yang paling diingat Rena adalah saat Ia mulai merasakan ada sesuatu yang patah namun tak terlihat tapi cukup menyakitkan hingga membuatnya menangis setia malam. Bahkan karena itu juga, Nina sempat menjauhi kedua insan yang Ia tahu telah meresmikan hubungannya. Nina tidak paham dan berusaha untuk tidak memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Tapi berlari sejenak dari semua itu adalah keputusan yang diambilnya. Nina pergi pulang ke kampung halaman setelah berhasil mendapatkan izin cutinya. Selama masa cutinya, Nina rutin belajar kendaraan roda dua dan setelah kembali, Nina membeli sepeda motor second dari salah satu teman satu kosannya. Menjadi lebih rajin masak juga adalah satu efeknya. Hal ini untuk mengurangi ruang geraknya yang hanya diruangan kerja saja. 

Sayangnya, itu tidak bertahan lama sebab saat Nina hendak pulang, lift terbuka dan menampakkan wajah Dimas di dalam dengan wajah sedikit kesal. "Sudah puas menghindarnya?" tanyanya. 

Nina terdiam, menikmati waktu untuk memandang wajah pria yang sudah lama Nina rindukan yang sialnya sekaligus telah menyakiti hati. "Hai, kau mendengarku?" Tanya Dimas kedua kalinya. 

"Ya, ada apa?" jawab Nina dengan pertanyaan kembali. 

"Kemana saja kau selama ini? Kau tahu? Kau seperti hilang ditelan bumi. Kau sudah tidak membangunkan aku lagi. Alhasil Renapun jadi terlambat. Kau juga tidak menemani kami makan siang, sehingga kami perlu makan di luar secara diam-diam. Apalagi pada saat kami makan ditempat kesukaanmu, Rena tak henti-hentinya mendiamiku karena aku salah memesan menu yang biasa kupesankan untuk mu, sedangkan itu untuk Rena yang sialnya Rena tidak suka dengan menu itu. 

Jam pulang juga, aku selalu menunggumu seperti tukang ojek pangkalan kau tahu? Ku pikir kau hobi sekali lembur. Tapi saat aku tanyakan kedai kopi langgananmu, kau tidak memesan kopi yang artinya kau tidak lembur. Kau tidak bisa lembur tanpa segelas kopi latte dengan double choco diatasnya. Lalu.... " Kalimatnya terputus saat Dimas melihat Nina tiba-tiba mengeluarkan air mata dengan tatapan yang sulit dipahami. 

"Hey, kau kenapa? Nina, kau tidak pernah menangis selain pertama kali kita bertemu. Ada masalah apalagi kali ini?"

"Aku memang tidak pernah menangisi apapun setelah kejadian itu, kecuali tentang ini." Nina mengambil nafas sejenak, "Tentang kamu yang selalu paham duniaku tapi tidak paham tentang perasaan aku padamu. Kamu kalah. Ternyata ada juga yang tidak kamu pahami ya?" 

Setelah puas mengatakan apa yang telah Ia pendam selama ini, Nina mengatur nafas sembari menghapus jejak air mata yang tersisa."Terima kasih. Aku pergi" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk dua puluh satu

Kutipan Harapan Sederhana Pagi