Cerpen : Kereta ku sampai tujuan

 Suatu hari aku sedang menunggu kereta untuk pergi ke suatu tujuan yang sebenarnya juga tidak tahu di mana itu. Yang aku tahu, aku hanya ingin melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta. Pergi ke stasiun, menunggu kereta yang datang dan menaikinya. Duduk sembari menikmati berbagai ekspresi sekitar. Ahh tentu saja sesekali akan ku tengok jendela besar di sebrangku. Pemandangan langit sebiru ini mana mungkin boleh aku lewatkan bukan?


Dengan perasaan yang cukup senang, aku menyambut kereta yang dikabarkan akan memasuki stasiun yang kini aku datangi. Bisa ku lihat, sekitar ku juga mulai mengikuti apa yang aku lakukan, mendekati garis kuning. Membentuk barisan seakan menyambut parade disebuah perayaan. Teriakan kereta semakin terdengar nyaring yang diikuti oleh suara rel beradu dengan besi bundar itu. Perlahan kereta mulai berhenti tepat di hadapan kami. 


Rasa senang itu semakin menyeruak. Dengan sangat sabar, aku menunggu pintu dari masing masing gerbong tersebut terbuka - serempak. Tapi sayang... Saat pintu terbuka tubuh ini tak sanggup menahan penumpang yang siap untuk turun maupun menaiki kereta tersebut - sama seperti keinginanku. Dari posisi jatuhku, aku dapat melihat pintu yang sudah ku nanti nanti tertutup dengan anggunnya. Meninggalkan aku yang masih belum menangkap kesadaran atas apa yang terjadi. 


'Tak apa, masih ada kereta selanjutnya' ucapku dalam hati


Ku tiangkan kembali tubuh ini. Meski kadar rasa senang tidak sememuncak sebelumnya, tapi aku tetap sabar menunggu kereta selanjutnya datang. Dan akhirnya besi panjang itu kembali datang. Karena selama aku menunggu tadi sudah mempelajari pengalaman jatuhku, maka aku sudah memasang strategi yang kurasa sangat brilian. 


Posisi diriku saat ini sedikit berubah, agak sedikit menjauhi garis kuning dan tidak tepat pada posisi pintu kereta berhenti. Tentu saja agar aku tidak kembali terdorong dan jatuh kedua kalinya. Ingatlah, janganlah kamu jatuh dilubang yang sama. Karena itu, kali ini Ku gunakan sebagian kecil otak cerdasku dan membuat rencana untuk bisa menaiki kereta tersebut. 


Tapi mengapa semua tidak sesuai rencana? Ke dua kalinya aku terjatuh lagi. Padahal sudah ku perhitungkan dengan benar agar aku tidak melakukan kesalahan. Seperti sebelumnya dengan posisi jatuh kulihat kereta bergerak menjauh. 


Kembali ku berdiri dan memikirkan cara sekedar bertahan agar tidak jatuh, nyatanya kereta meninggalkan ku dalam posisi jatuh lagi dan lagi. Sampai ku rasa panas dibagian bawahku akibat terbentur entah ke berapa kalinya. Tolong jangan suruh aku menghitungnya ya! Sebab saat ini emosi sedang menyelimutiku. Bahkan saat ini, antara alis kanan dan kiriku hampir saling bertabrakan. 


Sampai kereta - kesekian kalinya- datang dengan aku yang masih terduduk temanggu. Sudah tak kupedulikan lagi sekitar yang beberapa kali mengenai tubuhku. Hanya ringisan yang kini keluar dari mulutku. 


Kini semua nampak sepi. Entah sejak kapan semua keramaian tadi berhenti. Aku baru sadar setelah aku selesai memberikan semangat pada diriku sendiri untuk kuat meski dihati saja karena mulutku benar benar lelah sekedar mengucapkan 1 kata saja. 


Salah seorang Ibu tua datang menghampiri. Entah dari mana asalnya, sebab akupun baru tersadar saat kulihat sepasang kaki yak tampak beberapa kerutan di sana tepat ada di samping kakiku. Mataku mulai menjelajahi tubuh tua tersebut dari ujung kaki hingga terkunci tepat di wajah ayu nan damai. Senyum sederhana diikuti dengan mata yang menyipit. Aku sangat suka tatapan tersebut, tapi tersadarkan dengan pertanyaan yang ada di kepalaku, 'Mau apa dia?'. 


Sepertinya dia dapat membaca pikiran karena didetik selanjutnya wanita tua tersebut berkata, 


"Pulang lah. Kamu tidak mempunyai tujuan. Kamu tidak akan bisa sampai bahkan pergi kemanapun." 


Aku terdiam. Kalimat sederhana itu seakan membungkam mulut yang - sejujurnya- memang sedang lelah sekali. 


"Mereka di sini mempunyai tujuan. Karena itu mereka berhasil. Bukan hanya sekedar pergi dengan kereta lalu mencapai tujuan lebih dari sekedar sebuah stasiun akhir mereka. Tapi mewujudkan harap yang telah mereka rapalkan sejak mereka melangkahkan kaki keluar rumah. Atas doa dan keinginan kuat, Tuhan memerintahkan langit tuk sedikit melunak agar hambanya tersenyum " sambung ya lagi sebelum akhirnya meninggalkan ku yang masih hilang sadar. 


Akalku entah di bawa ke mana oleh wanita tua itu. Buntu. Seakan aku tak dapat memikirkan sedikitpun saat ini. Barang ingin mengucapkan Terima kasih, atau bertanya Anda siapa? Atau mungkin menjawab sederhana dengan merespon "Oh". 


Benarkah apa yang di sampaikan wanita tua tersebut? 


Lamunanku buyar saat kereta lainnya sampai. Aku mulai memperhatikan mimik wajah orang yang keluar satu persatu. Seakan waktu tiba tiba melambai dalam ingatku. Ahh, benar kata wanita tua tersebut, lihatlah mata mereka yang bersinar seakan siap untuk melangkah dan melewati apapun yang ada di hadapannya. Adapula sebagian yang mungkin terlihat lesu tapi meskipun demikian, apa yang menggantung di pundak mereka mengatakan bahwa, mereka tetap siap berperang untuk esok. Tak ada lelah. Mereka sungguh berbeda denganku. 


Aku tersenyum, berdiri tuk pulang. Lebih dari sekedar strategi cara bertahan, aku mulai melihat hal yang besar di ujung sana. Rona Rona cahaya menyambutku untuk pulang. Bukan hanya sekedar untuk pulang, tapi mempersiapkan sembah tuk ku agungkan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk dua puluh satu

Cerpen : Ada luka di balik kata PAHAM

Kutipan Harapan Sederhana Pagi