Rumah knis

Cerpen : Halaman Bidadari dan Semesta




Terdapat sebuah kisah di dalam kisah lainnya. Tentang seorang wanita dewasa yang mengisahkan kehidupan bidadari. Jari lentiknya sangat handal bergerak bebas. Kaki kecilnya lincah melompat dari titik satu ke titik satu lainnya. Bahkan tak dapat kau temui rasa ragu maupun takut di setiap geraknya. Begitupula lidahnya,  sulit kau temukan salah tutur, handal sanjungan untuknya. Dan bagi si penikmat hanya bisa menghadiahkan tepukkan tangan hingga menggema.

Seusai pentas, Wanita tersebut duduk.  Meminum air mineral di sudut ruang.  Bibir manisnya terus tersenyum.  Bermandikan keringat, tak sedikitpun tampakan keluh di wajah.  Seorang pria datang
menyamakan tingginya hingga mampu saling tatap.

"Kau temukan rumah." katanya yang mampu menciptakan kerut di dahi lawan bicaranya.

"Kau telah menemukannya,  rumah yang kau impikan" lanjut pria tersebut dengan senyum yang semakin mengembang.

"Kau ini, apa yang kau bicarakan? Aku memang sudah memiliki rumah. Kau tahu betul letaknya dimana." jawab wanita tersebut, melanjutkan minumnya.

"Baik,  jika kau sebut itu rumah, maka kau telah menemukan halamannya."

"Al,bisakah berhenti membuat ku bingung? "

"Kau tahu, apa yang paling indah saat kau dirumah? Kau bisa bersama dengan orang yang kau kasihi.  Namun saat kau kecil, ada sudut yang sering kau lupakan padahal banyak sekali kau melukis ceritamu sendiri. Dengan semesta dan imajinasi lepasmu. Halaman rumah. Kau semakin terlihat bersinar disana.  Pantulan sinar matahari di rambutmu, juga cipratan air di kakimu. Teriakan riang yang terkadang kalahkan suara petir yang menyeramkan. "

"... Kau tetap indah. Semesta semakin iri kepadamu."

Sang wanita hanya terdiam. Seakan imajinasinya menarik kembali kepada momen yang baru saja di paparkan oleh lelaki tersebut. Lelaki itu sangat benar, hal itu sangat menyenangkan. Hingga terkadang, omelan Ibu tak lagi jadi beban. Ia sangat suka tempat tersebut. Sudut itu, membuatnya menghilang sejenak rasanya. Membuat berbagai sakit luntur, terbawa dan terkepung di genangan-genagan tersebut. Genangan yang sangat menyenangkan untuk kau buatnya menghilang hanya dalam 1 hentakkan sepasang kaki yang melompat ke arahnya. Belum lagi mengenai aroma tanah yang berpadu padan dengan tanaman-tanaman di halaman. Segar dan sulit diartikan. Juga jangan lupakan biasan cahaya yang terkena air hujan dan menghasilkan pelangi kecil yang mudah tuk digapai meskipun tak dapat disentuh.

"Lalu? Apa hubungannya dengan saat ini? Bahkan kau tak berikan aku sebuah ucapan. Atau pelukan sebagai hadiah untukku malam ini." terdengar nada kesal yang sangat khas dari wanitanya. Lelaki tersebut hanya tertawa kecil.

"Selamat kau temukan halaman tersebut" lelaki tersebut mengulurkan tangan.

"Aku masih belum paham. "

Lelaki tersebut menarik uluran tangannya, lalu berjalan dan duduk di samping wanitanya.

"Di atas sana,"  tunjuk lelaki tersebut pada panggung yang terhalang sebagian oleh kain.  "Kau bersinar. Sama seperti saat kau di halaman.  Kau melakukan semua yang kau inginkan.  Tanpa beban.  Kau sangat menikmatinya.  Hingga kau tidak memikirkan jika kau merubah naskahmu dan membuat pemain lain harus improvisasi."

Wanitanya hanya dapat tertawa kecil.  Ia tidak sadar bahwa Ia telah mengubah naskahnya. Ia merasa semua baik-baik saja karena lawan main di atas panggungnya seperti sejalan dengannya. Tak ada bingung atau bahkan salah ucap. Seperti mengobrol dengan seorang teman dan membahas hal yang terlalu menyenangkan.

"Kau seperti seorang anak yang sedang bermain hujan, hujan disiang hari yang tak sedikitpun mendung menutupi cerahnya hari. Kau indah, saat kau menghirup wewangian saat itu. Tanah yang merkah dan tumbuhan yang juga bergembira. Kau dan semesta seakan berdiskusi asik sehingga gerak tubuhmu mendukung riasan wajah. Senyum dan mata yang membinar, pemandangan yang ku suka hingga saat ini." lelaki tersebut berhasil membuat wanitanya tersipuh.

"Aku sangat menikmatinya. Ya kau benar,  Al. Tapi ini tidak akan lama,  karena tempatku bukanlah disini. Kembali ke cerita nyata dimana Cinderella kembali bekerja di bawah tekanan para nyonya yang mengagungkan uang.  Dimana setiap harinya membahas ketamakkan.  Seakan menyiapkan uang karena esok mereka akan mati,  dan uang yang mereka kumpulkan untuk biaya pemakamannya. "

Mendengar tersebut membuat Al tertawa."Kantor hanya tempat singgahan sementara. Rumahmu adalah keluargamu dan halamanmu adalah panggung pentas. Dan,  pengisi ruang ini bukan hanya orang orang yang terikat. Bisa jadi untuk yang ingin berlibur. Kau misalnya." Al mengambil nafas dan tersenyum sejenak, "Liburan yang menyenangkan bukan?"

Wanita itu menganggukan kepala. Senyumnya kini merekah. Ada siratan rasa senang di matanya. Lelaki di hadapannya terlalu mengerti dirinya. Ia dapat menemukan sesuatu yang telah menjadi karang di dasar sanubari. Dengan perlahan, lelaki tersebut mengkikiskan karang,  hingga tampaklah sesuatu yang ada di balik karang tersebut.  Benda sederhana yang sangat mungil. Benda tersebut akan tetap menjadi demikian, karena telah ditemukan oleh seseorang yang begitu berharga. Mereka tersenyum bersama, meninggalkan halaman sementara untuk kembali ke rumah selanjutnya.








Referensi lainnya untuk cerita pendek yang mungkin akan kamu sukai :

Buku Cerita Bulan Mei

Keretaku Sampai Tujuan

Sepucuk Surat

Bintang Jatuh

Ada Luka di balik Kata Paham

Komentar